Selasa, 17 Mei 2011

Antara Kutu Loncat, Penghianat dan Oportunis


ANTARA  KUTU LONCAT, PENGHIANAT  DAN OPORTUNIS

Pindah rumah itu bagi kita adalah sesuatu yang wajar, hal ini merupakan sebuah dinamika bagi kehidupan manusia, jangankan pindah rumah pindah warga negara sampai pindah jenis kelamin pun sangat dimungkinkan dalam kehidupan ini. Pertanyaannya adalah apakah dinamika itu sebuah kewajaran atau malah sesuatu yang tidak pantas untuk dilakukan.
Sebuah tindakan seorang manusia tidak luput dari sebuah motif dan motif (Gerungan 151:2004) adalah yang melingkui semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.
Motif dibagi menjadi dua, yaitu motif tunggal dan motif bergabung, motif tunggal adalah alasan-alasan pribadi, sedangkan motif bergabung motif bersama-sama dengan anggota perkumpulan atau organisasi.
Saat ini di Propinsi Jawa Barat ada topik sedang hangat diperbincangkan oleh semua kalangan masyarakat, mulai dari tingkatan kelas bawah yang membaca surat kabar seharga seribu perak, sampai ke tingkat atas yang membaca news online dan topik tersebut adalah pindahnya seorang Dede Yusuf dari Partai Amanat Nasional ke Partai Demokrat. Lantas apa yang menjadi menarik, karena perpindahan adalah sebuah kewajaran. Pemicu hangatnya fenomena ini dikarena yang pindah kewargaan politiknya adalah seorang Wakil Gubernur Jawa Barat yang dibesarkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN).
Sejarah perjalanan seorang Dede Yusuf sebelum masuk ke gerbang Gedung Sate bahkan jauh sebelumnya masuk ke gedung dewan terlebih dahulu adalah seorang artis yang sangat terkenal, tidak seorangpun ragu akan tingkat popularitas seorang Dede Yusuf.
Awal mula selebritis masuk ke partai politik sebetulnya sudah sejak lama, mulai dari Orde Baru pun banyak selebritis yang masuk parpol. Rhoma Irama sang satria bergitar adalah kader PPP yang pada akhirnya menyebrang ke Golkar, kemudian adalagi Sophan Sophian yang betah sampai akhir hayat di PDI, ada lagi Kaharudin Syah, namun hal tersebut tidak menjadi isue yang menarik karena hanya beberapa gelintir saja artis yang berada di parpol.
Berbeda kasusnya ketika tahun 2004, artis atau selebritis berlomba-lomba masuk parpol dan berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi anggota legislatif bahkan berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi Walikota, Bupati sampai Gubernur. Partai politik membuka pintunya lebar-lebar bagi setiap artis yang masuk, hal ini sangat lumrah dan jelas hitung-hitungannya karena artis dijadikan sebagai vote getter (peraih suara). Partai-partai politik besar adalah yang paling banyak diminati oleh artis-artis adalah parpol yang tergabung the Big Five. Artis –artis tidak berminat dengan partai gurem yang tidak jelas arahnya.
Sosok Dede Yusuf addalah salah satu artis yang merapat ke Partai Amanat Nasional dan dengan mulus masuk ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak puas dan merasa cukup Dede Yusuf mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur berpasangan dengan Achmad Heriyawan dari PKS. Persaingan saat itu memang sangat ketat mengingat ada sosok Agum Gumelar dan calon-calon lain yang kuat basis massanya. Diluar perhitungan dan perkiraan ternyata popularitas Dede Yusuf mampu mendongkrak raihan suara yang mayoritas penduduk Jawa Barat adalah kaum wanita.
Kekuasaan adalah sesuatu yang menggiurkan, kekuasaan disinyalir dekat dengan kekayaan, maka tidak heran jika orang yang mempunyai kekuasaan berusaha sekuat tenaga mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Inilah yang mungkin ada dialam pikiran seorang Dede Yusuf yang merapat ke Partai Demokrat dan meninggalkan PAN yang jelas-jelas membesarkannya.
Bagi masyarakat awam perpindahan Dede Yusuf dari PAN ke Demokrat adalah sebuah hal yang wajar saja, bahkan mungkin ditanggapi dengan biasa-biasa. Akan tetapi hal ini menjadi berbeda ketika yang menanggapi adalah internal PAN.  
Secara etika politik rasanya Dede Yusuf jelas melanggar, perpindahan dari PAN ke Partai Demokrat sangat tidak etis. Hal yang menjadi pokok permasalahan adalah Dede Yusuf masih menjabat sebagai Wakil Gubernur yang pada mulanya diusung oleh PAN. Tugas-tugas sebagai Wakil Gubernur beleun selesai, artinya Dede Yusuf yang sekaligus sebagai warga PAN harusnya menyelesaikan terlebih dahulu masa jabatannya sampai akhir. Komitmen adalah hal yang sensitif dalam politik, dan komitmen inilah yang justru yang seringkali tidak dimiliki oleh politisi.
Motif apa sebenarnya yang ada dalam sosok Dede Yusuf  tentang kepindahannya dari PAN ke Demokrat, hal ini yang akan diuraikan dalam tulisan ini.
Kutu Loncat
     Kutu loncat adalah serangga kecil yang merupakan anggota suku Psyllidae. Serangga ini hidup dengan memakan cairan tumbuhan, sehingga beberapa jenisnya dikenal menjadi hama berbahaya. Bersama-sama dengan berbagai kutu hama tumbuhan seperti kutu daun, kutu perisai, dan kutu putih ia digabungkan ke dalam kelompok Sternorrhyncha, yang dianggap bentuk hidup paling primitif dari kepik sejati (Hemiptera). Walaupun kutu loncat pada beberapa pustaka dianggap sebagai satu suku, sekarang mereka disebar ke enam famili, salah satunya adalah kutu loncat (wikipedia)
            Kutu loncat adalah sejenis hama, dana bisa kita bayangkan dalam berita yang dimuat oleh inilah.com tanggal 21 April 2011 Seorang Dede Yusuf dengan tegas menyatakan dia tidak keberatan jika dia disebut sebagai KUTU LONCAT assal jangan disebut “penghianat”. Bagi masyarakat yang tahu apa itu kutu loncat tentu sangat berkonotasi buruk karena kutu loncat adalah hama yang jelas-jelas merugikan petani. Lantas ada seorang Wakil Gubernur yang menyatakan dirinya tidak keberatan disebut sebagai kutu loncat yang jika diartikan bahwa seorang Dede Yusuf adalah sosok hama yang jelas-jelas tidak menguntungkan keberadaanya.
            Mari kita telaah berdasarkan teori-teori komunikasi politik, yang mana komunikasi  definisi komunikasi politik (Hafied Cangara 35: 2009) bahwa komunikasi poiitk dirumuskan sebagai suau proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan poltik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.
            Selain dari definisi, kita pun menghubungkan dengan apa itu pesan politik (Hafied Cangara 37 : 2011) adalah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun non verbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang isinya mengandung bobot politik.
            Jika dihubungkan dengan pernyataan Dede Yusuf tentang kepindahannya dari PAN ke Partai Demokrat yang mana sempat terucap olehnya “ tidak keberatan disebut kutu loncat” maka jika dianalisis adalah sebuah bumerang yang sangat buruk dampaknya bagi karir politik Dede Yusuf.  Tujuan Dede Yusuf jelas adalah sebuah pesan politik bagi publik. Pilihan dalam menyetujui bahwa isitilah kutu loncat adalah sesuatu yang tidak tepat bagi pencitraan dirinya karena artinya bernilai sangat negatif, bukan hanya sekedar golongan masyarakat yang faham politik saja yang mengerti arti dari kutu loncat melainkan masyarakat awampun mengerti bahwa arti dri kutu loncat adalah hama yang menganggu.
            Komunikasi politik yang dilakukan oleh Dede Yusuf dengan mengatakan bahwa dia tidak keberatan disebut dengan kutu loncat akan sangat berdampak pada tingkat kepercayaan publik pada komitmennya. Untuk saat ini sangat yakin jika masyarakat melalukan jejak pendapat terhadap Dede Yusuf maka hasilnya akan sangat buruk karena tingkat kepercayaan publik sudah sangat berkurang, seandainya pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat dilakukan tahun 2011 maka kursi tersebut hanya tinggal kenangan saja bagi Dede Yusuf.
Penghianat
Dalam artikel tersebut di atas jelas Dede Yusuf memilih disebut kutu loncat dibanding disebut penghianat. Sebuah pilihan istilah yang sangat dilematis bagi seorang Dede Yusuf. Tidak ada satupun pilihan istilah yang positif diantara “kutu loncat” dan “penghianat”. Lantas mengapa Dede Yusuf memilih kutu loncat dibanding penghianat. Wajar dan bisa dimaklumi jika harus menghindari penghianat, karena penghianat adalah sebuah tindakan yang paling haram dilakukan oleh seorang anggota organisasi, haram dilalakukan oleh seorang prajurit, haram dilakukan oleh seorang warga negara. Penghianat atau berkhianat artinya menyebrang ke pihak musuh atau lawan.
      Penghianat, berkhianat dan penghianatan menjadi sebuah label paling rendah bagi manusia jika dikaitkan dengan sebuah konsep perjuangan dan bernegara. Betapa seorang penghianat negara akan sangat diburu oleh intelejen karena membocorkan rahasia negara.
Lantas jika berbicara Dede Yusuf bukan penghianat apa namanya perbuatan yang telah dilakukan yakni hengkangnya dari PAN ke Partai Demokrat di saar Dede Yusuf masih menjabat sebagai Wakil Gubernur yang pada saat proses pemilihannya diusung oleh PAN. Hak untuk menyatakan Dede Yusuf penghianat atau bukan adalah tidak bearada pada tangan media, bukan pula oleh publik, melainkan hak tuk menyatakan Dede Yusuf penghianat atau bukan adalah Partai Amanat Nasional (PAN) itu sendiri.
      PAN adalah sosok yang paling berhak menentukan penghianat atau bukan atas pindahnya Dede Yusuf dari PAN ke Demokrat.Hal ini sangat jelas karena PAN yang merupakan induk semangnya Dede Yusuf ketika masuk ke lingkungan politik. Jika seorang kita beranalogi seorang Dede Yusuf adalah anak bagi PAN, dan ketika anak itu sudah besar dan mampu berdiri sendiri maka sang anak dengan pergi meninggalkan orang tuanya dan melupakan jasa-jasanya. Analogi barusan adalah yant disebut dengan seorang anak yang durhaka kepada ibu bapaknya.
Rasa sakit hati yang dirasakan oleh PAN adalah sebuah kewajaran dalam kehidupan berpolitik dan bernegara karena PAN pun sudah sangat habis-habisan mengerahkan daya dan upaya untuk memuluskan jalan Dede Yusuf masuk ke Gedung Sate. Hal ini terungkap dalam artikel Antara News.com 12 April 2011   "Kami kecewa, tetapi kami menghormati, itu hak politik Pak Dede Yusuf selaku warga negara yang dilindungi undang-undang," kata Sekertaris DPW PAN Jabar Yana Ismayana kepada wartawan.
Lantas apa yang ada dalam benak konstituan Dede Yusuf ketika Dede Yusuf dianggap menyakiti hati PAN dan kemudian media memuat berita tersebut secara ekspolisif mengingat Dede Yusuf adalah attention getter yang luar biasa karena seorang Wakil Gubernur. Mengingat komunikasi politik juga bersinggungan dengan media, yang mana fungsi Komunikasi Politik  dijelaskan oleh oleh Mc Nair  (Cangara, 39:2009), bahwa komunikasi politik memiliki lima fungsi dasar, yalni sebagai berikut
1.      Memberikan informasi kepada masyarakat apa yang terjadi di sekitranya. Di sini media komunikasi memiliki fungsi pengamatan dan juga fungsi monitoring apa yang terjadi dalam masyarakat
2.      Mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikasi fakta yang ada. Di sini para jurnalis diharapkan melihat fakta yang ada sehingga berusaha membuat liputan yang objektif (objective reporting) yang mendidik masyarakat atas realitas fakta tersebut.
3.      Menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga menjadi wacana dalam membentuk opini publik, dan mengembalikan opini tersebut kepada masyarakat. Dengan cara demikian. Nisa memberi arti dan nilai pada usaha penegakan demokrasi.
4.      Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan lembaga lembaga politik. Di sini media bisa berfungsi sebagai anjing penjaga ( wacth dog) sebagai mana pernah terjadi dalam kasus mundurnya Nixon sebagai presiden Amerika karena terlibat watergate.
5.      Dalam masyarakat yang demokratis, media politik berfungsi sebagai saluran advokasi yang bisa membantu agar kebijakan dan program-program lembaga politik dapat disalurkan kepada media massa.
Dengan sedikit keberanian untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya dari lima tadi adalah fungsi media menjadi pemberi informasi, objective reporting, penyedia platform, watchdog dan advokasi. Pada akhirnya memang kembali ke masyarakat sebagai penentu keputusan dan perubahan sikap terhadap pelaku-pelaku politik,
Dapatlah kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan pemberitaan media massa tentang Dede Yusuf yang berpindah parpol dari PAN yang membesarkannya ke Demokrat, yang mana dalam informasinya menyebutkan adanya istilah Penghianat dan Kutu loncat. Secara jangka pendek tingkat kepercayaan publik akan menurun sangat drastis karena masyarakat akan mempunyai pendapat bahwa “ Jika terhadap partai yang membesarkannya Dede Yusuf bisa berkhianat apalagi terhadap rakyatnya”
Oportunis
            Ada hal lain yang menarik untuk menyikapi pindahnya Dede Yusuf dari PAN ke Demokrat disaat jabatan Wakil Gubernur belum selesai diembannya. Hal ini diyakini leh siapa saja bahwa proyeksinya adalah adanya sebuah bidikan atau target lain untuk meraih kursi Jawa Barat Satu atau Gubernur yang dalam hal ini Dede Yusuf pesimis jika PAN masih mau mengusungnya.
            Melanggengkan kekuasaan adalah suatu hal yang lumrah dalam dunia politik. Ferdiand Marcos, Suharto, Fidel Castro, Sadam Husein adalah tokoh-tokoh politik dunia yang terkenal akan kelanggengan kekuasaannya, bahkan yang terahir adalah Moamar Khadafi Presiden Libia yang mana sebagian rakyatnya bergerak menuntut agar Khadafi turun dari kusri kepresiden dan pada akhirnya Amerika dengan senang hati ikut mambantu dalam proyek penggusuran Khadafi dari kursi presiden dengan dalih penegakan demokrasi.
            Berkaitan dengan keanggotaan partai politik bagi seseorang pada dasarnya ada bebrapa alasan (Cangara 216 : 2009), yaitu :
1.      Melalui partai dia dapat melakukan kontak sosial dengan banyak orang, karena partai merupakan representasi dari kumpulan banyak orang.
2.      Ingin mendapatkan perlindungan dan hak – hak istimewa melalui parpol dalam bentuk aktualisasi diri, misalnya menduduki jabatan dalam partai atau menjadi calon terpilih.
3.      Ingin memperoleh pendapatan dengan menduduki jabatan seperti menteri,DPR atau DPD.
4.      Kesempatan untuk meniti karier ke jenjang yang lebih tinggi.
5.      Untuk memperjuangkan ideologi.
Maka wajar jika seorang Dede Yusuf berpindah parpol karena dia sudah tidak bisa memanfaatkan parpolnya untuk memuluskan niatnya untuk menduduki jabatan tertentu. Dengan kata lain Dede Yusuf sebagai seorang oportunis yang mana Dede Yusuf memanfaatkan peluang-peluang yang ada di Demokrat. Dia membaca bahwa situasi sudah tidak menguntungkan jika berdiam diri di PAN.
            Ideologi oportunis menurut kamus besar adalah paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan ang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu. Artinya orang-orang oportunis adalah orang yang memikirkan keuntungan pribadi, bukan kepentingan umum.
            Menganalisis gerakan politik Dede Yusuf adalah jelas sebagai orang oportunis sejati, dan dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Pada saat masuk PAN dan mencalonkan menjadi anggota parlemen Dede Yusuf sangat sadar bahwa sebagai seoang Artis dia bisa dimanfaatkan sebagai alasan masyarakat untuk memilihnya.
2.      Pada saat mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur lagi-lagi Dede Yusuf memanfaatkan sisi popularitasnya sebagai peluang untuk dipilih oleh rakyat dan ditunjang oleg suara anggota PAN dan simpatisannya.
3.      Pada saat masih menjabat Wakil Gubernur dia menyadari bahwa PAN sudah tidak akan mencalonkannya lagi, maka dia membaca peluang dan kesempatan yang menguntungkan di Partai Demokrat
Lantas jika begitu apa yang menjadi alasan bagi kita untuk memlih Dede Yusuf, atau apa yang menjadi alasan bagi kita untuk menyatakan bagus atas kinerja Wakil Gubernur Jawa Barat yang telah nyata-nyata dan jelas sebagai orang yang oportunis dan seornag oportunis adalah orang yang hanya semata-mata memikirkan keuntungan pribadi. Wallahu alam bisawab.

Senin, 16 Mei 2011

Rukun Tetangga ngacologi


RUKUN TETANGGA DALAM KAJIAN HUMOROLOGI
Oleh
Soni Sonjaya



            Rukun Tetangga atau disingkat RT adalah sebuah jabatan tertinggi sekaligus terendah dalam jajaran pemerintahan di Republik Indonesia. Disebut tertinggi karena secara kekuatan seorang Ketua RT lebih didengar langsung oleh masyarakatnya, namun disebut terendah karena secara hierarkis RT jauh dibawah Presiden.

            Setelah melakukan wawancara terhadap dua puluh orang Kepala Rukun Tetangga, dan pada saat ditanya apakah mempunyai cita-cita menjadi seorang Kepala RT, jawabanya 100% tidak pernah punya cita-cita seperti itu, rata-rata mereka terpilih menjadi Ketua RT lantaran di ajukan oleh warga lainnya, walaupun terkadang setelah terpilih banyak yang menolak menerima jabatan tersebut, atau jika anda iseng bertanya terhadap anak-anak yang masih duduk di tingkat Taman Kanak-Kanak siapa yang ingin menjadi presiden, dijamin hampir 90% mengacungkan tangannya, akan tetapi jika anda bertanya siapa yang ingin menjadi Ketua RT, dijamin hampir 100% tidak ada yang mengacungkan tangannya. Mungkin ada satu orang anak yang akan mengacungkan tangannya yaitu anak saya kelak jika memang Ketua RT bisa dijadikan sebuah profesi yang menjanjikan

            Krtiteria seorang Ketua RT tidak pernah jelas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahkan tragisnya lagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak terpikirkan untuk membuat Undang-Undang Rukun Tetangga. Minimal ada keseragaman dalam mengatur masa jabatan dan Kriteria seorang RT, standar gajih sampai jenjang karir.
            Kita bahas satu persatu, dari sisi criteria seorang Ketua RT seolah-olah ada aturan tidak tertulis yang mensyaratkan seorang ketua harus sudah berumur di atas 35 tahun. Coba teliti disekitar anda, rata-rata ketua RT sudah tua umurnya. Selain itu seorang Ketua RT rata-rata harus yang tidak aktif lagi bekerja di luar rumah, atau boleh dikatakan seorang pensiunan. Sungguh kasihan sekali jika ada seorang pensiunan yang harusnya menikmati masa-masa istirahat dan menikmati hari tuanya harus “riweuh” ngurusin rakyat di kampungnya.
            Ada satu hal yang sangat aneh, seorang Ketua RT seolah-olah harus satu paket dengan istrinya yang menjadi Ibu RT, yang dalam hal ini tidak jarang terjadi seorang suami menjadi ribut dalam rumah tangganya gara-gara istrinya tidak setuju sang suami menjadi Ketua RT. Logikanya jika hal tersebut terus berlaku maka jangan harap seorang bujangan dan seorang duda bisa menjadi Ketua RT, karena kedua-duanya tidak atau belum mempunyai pendamping sebagai pejabat Ibu RT.

            Perduli atau tidak perduli dengan adanya jabatan ketua RT, hal tersebut sangat berdampak dalam kehidupan bermasyarakat kita, namun tidak pernah ada yang perduli dengan jenjang karir seorang ketua RT. Misalkan setelah jadi ketua RT dia bisa menjadi ketua RW atau Kepala Desa dan seterusnya.

Dalam kaitannya dengan proses pemilihan tidak pernah ditemukan adanya sebuah kampanye besar-besaran dari kandidat Ketua RT, apalagi sampai melibatkan arak-arakan dan pawai kendaraan dalam sebuah pemilihan ketua RT. Tidak pernah ada pula pemasangan poster wajah-wajah kandidat, tidak pernah ada pemasangan baligo yang besarnya sampai menutupi jalan yang mengobral janji-janji jika terpilih nanti. Kejadiannya seorang calon RT didorong-dorong oleh warga lainnya, sementara yang mendorong-dorong untuk maju sebagai calon ketua tidak pernah mau mencalonkan dirinya sendiri

            Sebuah pemilihan atau proses demokrasi yang paling tidak demokratis adalah pemilihan ketua RT, bayangkan yang berhak memilih hanya kaum bapak-bapak saja, atau setidaknya seorang duda/pernah menikah, sementara remaja yang berusia 17 tahun ke atas dan ibu-ibu tidak pernah dilibatkan dalam proses pemilihan ketua RT, padahal mereka berstatus warga juga. Sungguh sangat disayangkan karena harusnya pembelajaran demokrasi bisa ditanamkan mulai dari tingkat yang paling bawah. Hebatnya lagi kaum remaja apalagi mahasiswa dan kaum ibu-ibu tidak pernah protes apalagi sampai demo besar-besaran yang melibatkan spanduk, poster dan massa yang sangat banyak untuk menggugat proses pemilihan tersebut. Mereka menerima dengan lapang dada dan menurut terhadap sebuah keputusan yang telah diambil.

            Tugas dari seorang Ketua RT sangatlah berat, dia harus mengurus kampungnya agar tertib, aman dan nyaman bagi warga. Sepintas tugas tersebut mirip juga dengan seorang sheriff di Amerika. Jika ada yang kemalingan, warga akan dengan gampang menyalahkan system keamanan yang diciptakan oleh ketua RTnya, sementara warga jika diajak siskamling ogah-ogahan. Jika ada pemuda-pemuda yang sering mabuk-mabukan maka Ketua RT pula yang ketiban pulung membereskan itu semua.

            Proses pengurusan KTP salah satu tugas dari Ketua RT, dan anehnya jika biaya menjadi agak mahal terkadang warga protes dan menyebut ketua RT korupsi, atau membuat pengantar apapun yang sifatnya pemerintahan jika ada biaya warga akan bergunjing bahwa Ketua RT materialistis. Sementara warga enggan mengurus sendiri surat-surat penting tersebut, dengan alasan terlalu sibuk, atau terlalu banyak meja yang harus dihadapi.

            Urusan sampah yang sangat menjijikan menjadi salah satu tugas dan tanggung jawab Ketua RT, jika petugas sampah telat datang dan sampah menumpuk maka segenap warga akan kompak menelepon ketua RT, sungguh sebuah tugas yang sangat berat. Selamat berjuang para ketua RT!. Adakah mahasiswa LP3i yang bercita-cita menjadi ketua RT..??

Penulis adalah Staff pengajar di LP3i Bandung.

MC antara penghasilan dan keilmuan

MASTER OF CEREMONY
Antara penghasilan dan keilmuan
Oleh
Soni Sonjaya

Industri hiburan di bumi pertiwi ini bagaikan jamur di musim hujan, setiap orang punya selera masing-masing terhadap hiburan dan hebatnya lagi hiburan apapun tersedia di Indonesia tercinta ini, silahkan pilih mau hiburan murah atau mahal, hiburan musik atau film, hiburan tertutup atau terbuka bahkan sanpai memilih hiburan halal atau haram.  Hal ini membawa dampak yang sangat baik sekali terhadap lapangan pekerjaan, misalkan dalam sebuah acara yang digelar maka membutuhkan pula sumber daya manusia yang banyak, misalnya runner, floor director, show director, sound engineer, pemain band, penyanyi sampai MC. Di kota Bandung jika saja hendak rajin menghitung jumlah event atau acara yang digelar dalam satu hari  misalkan hari Sabtu saja akan terdapat minimal 50 acara ( event ) maka logikanya dalam satu hari tersebut ada 50 MC yang membawakan acara dan kemungkinan lebih.

Dalam sebuah acara yang digelar ada sebuah peran penting yang tidak boleh dilupakan, yaitu peran seorang Master Of Ceremony atau biasa disingkat MC saja. Secara etimologis Master Of Ceremony berarti ahli nya dari sebuah acara, tentu sangat rancu terdengarnya, maka secara singkat MC didefinisikan menjadi pembawa acara. Jenis pekerjaan MC dewasa ini sudah disebut juga sebagai profesi walaupun masih banyak yang berdebat soal itu, namun hal ini lumrah saja, orang Indonesia lebih sering berkutat di hal-hal teoritis dibandingkan memikirkan hal-hal yang pragmatis.

Pada awalnya dunia MC bukan sebuah pilihan dalam hal pekerjaan, karena pada saat awal munculnya profesi ini hanya dihuni oleh beberapa gelintir manusia saja. Kota Bandung termasuk salah satu kota yang banyak melahirkan MC handal sebut saja sosok Aom Kusman dan Rudy Jamil adalah maestro dibidang MC tetapi jika kita iseng-iseng menanyakan apakah mereka bercita-cita menjadi MC, jawabanya adalah tidak. Hal ini karena factor situasi dan kondisi yang membuat mereka terjun kedunia tersebut, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi saat ini dimana anak-anak muda sangat ingin menggeluti pekerjaan tersebut. Lantas apa yang menjadi motivasinya, jawabannya adalah uang dan popularitas. Jujur saja kedua factor tadi menjadi pemicu utama anak-anak muda menggeluti dunia MC, uang dan popularitas bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan.

Andaikan uang menjadi prioritas utama tentu sebagian orang akan bertanya-tanya, seberapa besar penghasilan seorang MC. Pertanyaan naïf tadi sulit untuk dijawab meskipun pada dasarnya setiap MC mendapatkan bayaran berbeda-beda tergantung jam terbang dan kemampuannya, semakin tinggi jam terbang dan kemampuannya maka semakin tinggi jumlah bayaran yang dia terima, jika orang-orang multi level marketing berkilah dengan penghasilan yang tidak terbatas maka MC akan menjawab hal yang sama. Tergiur oleh uang yang lumayan dan bisa didapat dengan waktu satu hari saja, anak-anak muda berlomba-lomba menjadi MC, pria atau wanita sama saja. Lihat di mall atau café atau hotel-hotel yang menggelar acara terdapat MC yang masih muda-muda, energik dan piawai dalam membawakan sebuah acara. Jumlah MC yang ada di kota Bandung saja sangat sulit dihitung, bayangkan dari setiap stasiun radio saja pasti terdapat beberapa MC yang merangkap menjadi penyiar radio tersebut belum lagi yang diluar penyiar radio. Akan tetapi ada sebuah kelucuan yang terjadi di Indonesia tercinta ini, pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja tidak akan pernah punya data tentang jumlah orang-orang yang berprofesi sebagai MC, tetapi lucunya pemerintah menerapkan pajak penghasilan kepada para MC dalam setiap kontrak yang ditanda tanganinya apalagi jika kontrak tersebut melibatkan sponsor, hal ini membuktikan bahwa penghasilan dari seorang pembawa acara cukup lumayan sehingga membuat pemerintah menerapkan pajak tetapi tanpa pernah memikirkan bahwa hal ini adalah sebuah potensi dari generasi muda anak-anak bangsa yang kreatif dan mampu mencari pekerjaan tanpa harus meminta-meminta kepada pemerintah apalagi wakil rakyat yang dalam masa kampanye mengembar-gemborkan sejuta lapangan kerja.

Dibalik semua hal tadi, ada sebuah fenomena yang menarik dari sisi lembaga pendidikan yang menerapkan konsepsi edukasi yang berbasis kompetensi, dimana setiap mahasiswanya diwajibkan mendapatkan sebuah keahlian tertentu agar setelah lulus mempunyai bekal dalam mencari pekerjaan. Fakultas Ilmu Komunikasi atau Program Pendidikan Komunikasi dalam salah satu mata kuliahnya mencantumkan Master Of Ceremony dan Protokoler, hal ini adalah sebuah kemajuan dari sebuah lembaga pendidikan yang mengganggap bahwa skill and ability di bidang komunikasi menjadi modal penting bagi para alumni.

Dunia pembawa acara alias MC memang terlahir dari ilmu komunikasi hanya saja pengembangan dan penelitiannya dilakukan ahir-ahir ini saja, namun secara cikal bakalnya sudah diawali dengan dipelajarinya hal-hal yang berkaitan dengan protokoler yang walaupun pengertian dan penerapannya sangat jauh berbeda namun keduanya lahir dari induk yang sama yaitu komunikasi.

Jika ada istilah peribahasa mulutmu harimaumu, maka hal ini sangat berlaku bagi seorang MC, bayangkan jika salah berbicara, salah menyebut sponsor, salah menyebutkan nama orang atau bahkan sampai menyinggung perasaan penonton maka akibatnya fatal bagi seorang MC, selain mendapat cemoohan dari penonton kemungkinan terburuk adalah MC tersebut tidak akan mendapatkan kembali pekerjaannya dari orang yang memintanya. Secara teoritis pekerjaan pembawa acara harus dipelajari dengan serius, karena pembawa acara tidak asal bicara atau tidak asal membuat tertawa, dia harus mempelajari siapa audiensnya hal ini dalam ilmu komunikasi disebut dengan analisis khalayak, harus juga mempelajari intonasi, artikulasi dan tempo bicara dan hal ini berkaitan dengan pelajaran bahasa Indonesia yang kadang disepelekan, dari aspek psikologis seorang MC harus tahu betul tingkat emosi penonton.







Beban yang ada dipundak seorang MC pada dasarnya sangatlah berat, dia menyandang gelar wakil dari sebuah produk yang menjadi sponsor, dia juga mempunyai beban dalam hal kelancaran sebuah acara dan dia berhadapan langsung dengan penonton, maka diperlukan seorang MC yang cerdas dan mempunyai wawasana yang luas, bukan jamannya lagi seorang MC dilakukan secara asal-asalan, asal bisa bicara dan asal bisa membuat tertawa, tetapi melupakan etika dan unsure-unsur lain dalam hal berkomunikasi.


Penulis adalah praktisi Master Of Ceremony dan staff pengajar di LP3i Bandung