Senin, 16 Mei 2011

MC antara penghasilan dan keilmuan

MASTER OF CEREMONY
Antara penghasilan dan keilmuan
Oleh
Soni Sonjaya

Industri hiburan di bumi pertiwi ini bagaikan jamur di musim hujan, setiap orang punya selera masing-masing terhadap hiburan dan hebatnya lagi hiburan apapun tersedia di Indonesia tercinta ini, silahkan pilih mau hiburan murah atau mahal, hiburan musik atau film, hiburan tertutup atau terbuka bahkan sanpai memilih hiburan halal atau haram.  Hal ini membawa dampak yang sangat baik sekali terhadap lapangan pekerjaan, misalkan dalam sebuah acara yang digelar maka membutuhkan pula sumber daya manusia yang banyak, misalnya runner, floor director, show director, sound engineer, pemain band, penyanyi sampai MC. Di kota Bandung jika saja hendak rajin menghitung jumlah event atau acara yang digelar dalam satu hari  misalkan hari Sabtu saja akan terdapat minimal 50 acara ( event ) maka logikanya dalam satu hari tersebut ada 50 MC yang membawakan acara dan kemungkinan lebih.

Dalam sebuah acara yang digelar ada sebuah peran penting yang tidak boleh dilupakan, yaitu peran seorang Master Of Ceremony atau biasa disingkat MC saja. Secara etimologis Master Of Ceremony berarti ahli nya dari sebuah acara, tentu sangat rancu terdengarnya, maka secara singkat MC didefinisikan menjadi pembawa acara. Jenis pekerjaan MC dewasa ini sudah disebut juga sebagai profesi walaupun masih banyak yang berdebat soal itu, namun hal ini lumrah saja, orang Indonesia lebih sering berkutat di hal-hal teoritis dibandingkan memikirkan hal-hal yang pragmatis.

Pada awalnya dunia MC bukan sebuah pilihan dalam hal pekerjaan, karena pada saat awal munculnya profesi ini hanya dihuni oleh beberapa gelintir manusia saja. Kota Bandung termasuk salah satu kota yang banyak melahirkan MC handal sebut saja sosok Aom Kusman dan Rudy Jamil adalah maestro dibidang MC tetapi jika kita iseng-iseng menanyakan apakah mereka bercita-cita menjadi MC, jawabanya adalah tidak. Hal ini karena factor situasi dan kondisi yang membuat mereka terjun kedunia tersebut, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi saat ini dimana anak-anak muda sangat ingin menggeluti pekerjaan tersebut. Lantas apa yang menjadi motivasinya, jawabannya adalah uang dan popularitas. Jujur saja kedua factor tadi menjadi pemicu utama anak-anak muda menggeluti dunia MC, uang dan popularitas bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan.

Andaikan uang menjadi prioritas utama tentu sebagian orang akan bertanya-tanya, seberapa besar penghasilan seorang MC. Pertanyaan naïf tadi sulit untuk dijawab meskipun pada dasarnya setiap MC mendapatkan bayaran berbeda-beda tergantung jam terbang dan kemampuannya, semakin tinggi jam terbang dan kemampuannya maka semakin tinggi jumlah bayaran yang dia terima, jika orang-orang multi level marketing berkilah dengan penghasilan yang tidak terbatas maka MC akan menjawab hal yang sama. Tergiur oleh uang yang lumayan dan bisa didapat dengan waktu satu hari saja, anak-anak muda berlomba-lomba menjadi MC, pria atau wanita sama saja. Lihat di mall atau café atau hotel-hotel yang menggelar acara terdapat MC yang masih muda-muda, energik dan piawai dalam membawakan sebuah acara. Jumlah MC yang ada di kota Bandung saja sangat sulit dihitung, bayangkan dari setiap stasiun radio saja pasti terdapat beberapa MC yang merangkap menjadi penyiar radio tersebut belum lagi yang diluar penyiar radio. Akan tetapi ada sebuah kelucuan yang terjadi di Indonesia tercinta ini, pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja tidak akan pernah punya data tentang jumlah orang-orang yang berprofesi sebagai MC, tetapi lucunya pemerintah menerapkan pajak penghasilan kepada para MC dalam setiap kontrak yang ditanda tanganinya apalagi jika kontrak tersebut melibatkan sponsor, hal ini membuktikan bahwa penghasilan dari seorang pembawa acara cukup lumayan sehingga membuat pemerintah menerapkan pajak tetapi tanpa pernah memikirkan bahwa hal ini adalah sebuah potensi dari generasi muda anak-anak bangsa yang kreatif dan mampu mencari pekerjaan tanpa harus meminta-meminta kepada pemerintah apalagi wakil rakyat yang dalam masa kampanye mengembar-gemborkan sejuta lapangan kerja.

Dibalik semua hal tadi, ada sebuah fenomena yang menarik dari sisi lembaga pendidikan yang menerapkan konsepsi edukasi yang berbasis kompetensi, dimana setiap mahasiswanya diwajibkan mendapatkan sebuah keahlian tertentu agar setelah lulus mempunyai bekal dalam mencari pekerjaan. Fakultas Ilmu Komunikasi atau Program Pendidikan Komunikasi dalam salah satu mata kuliahnya mencantumkan Master Of Ceremony dan Protokoler, hal ini adalah sebuah kemajuan dari sebuah lembaga pendidikan yang mengganggap bahwa skill and ability di bidang komunikasi menjadi modal penting bagi para alumni.

Dunia pembawa acara alias MC memang terlahir dari ilmu komunikasi hanya saja pengembangan dan penelitiannya dilakukan ahir-ahir ini saja, namun secara cikal bakalnya sudah diawali dengan dipelajarinya hal-hal yang berkaitan dengan protokoler yang walaupun pengertian dan penerapannya sangat jauh berbeda namun keduanya lahir dari induk yang sama yaitu komunikasi.

Jika ada istilah peribahasa mulutmu harimaumu, maka hal ini sangat berlaku bagi seorang MC, bayangkan jika salah berbicara, salah menyebut sponsor, salah menyebutkan nama orang atau bahkan sampai menyinggung perasaan penonton maka akibatnya fatal bagi seorang MC, selain mendapat cemoohan dari penonton kemungkinan terburuk adalah MC tersebut tidak akan mendapatkan kembali pekerjaannya dari orang yang memintanya. Secara teoritis pekerjaan pembawa acara harus dipelajari dengan serius, karena pembawa acara tidak asal bicara atau tidak asal membuat tertawa, dia harus mempelajari siapa audiensnya hal ini dalam ilmu komunikasi disebut dengan analisis khalayak, harus juga mempelajari intonasi, artikulasi dan tempo bicara dan hal ini berkaitan dengan pelajaran bahasa Indonesia yang kadang disepelekan, dari aspek psikologis seorang MC harus tahu betul tingkat emosi penonton.







Beban yang ada dipundak seorang MC pada dasarnya sangatlah berat, dia menyandang gelar wakil dari sebuah produk yang menjadi sponsor, dia juga mempunyai beban dalam hal kelancaran sebuah acara dan dia berhadapan langsung dengan penonton, maka diperlukan seorang MC yang cerdas dan mempunyai wawasana yang luas, bukan jamannya lagi seorang MC dilakukan secara asal-asalan, asal bisa bicara dan asal bisa membuat tertawa, tetapi melupakan etika dan unsure-unsur lain dalam hal berkomunikasi.


Penulis adalah praktisi Master Of Ceremony dan staff pengajar di LP3i Bandung

3 komentar:

  1. Luar biasa, sangat menarik dan bermanfaat.

    BalasHapus
  2. Pengalamanku jadi mc miris, jangankn amplop ucapan terimakasih aja tak ade

    BalasHapus
  3. Ini bermanfaat, akan saya benahi lagi tentang komunokasi yang baik dan benar

    BalasHapus