Senin, 16 Mei 2011

Rukun Tetangga ngacologi


RUKUN TETANGGA DALAM KAJIAN HUMOROLOGI
Oleh
Soni Sonjaya



            Rukun Tetangga atau disingkat RT adalah sebuah jabatan tertinggi sekaligus terendah dalam jajaran pemerintahan di Republik Indonesia. Disebut tertinggi karena secara kekuatan seorang Ketua RT lebih didengar langsung oleh masyarakatnya, namun disebut terendah karena secara hierarkis RT jauh dibawah Presiden.

            Setelah melakukan wawancara terhadap dua puluh orang Kepala Rukun Tetangga, dan pada saat ditanya apakah mempunyai cita-cita menjadi seorang Kepala RT, jawabanya 100% tidak pernah punya cita-cita seperti itu, rata-rata mereka terpilih menjadi Ketua RT lantaran di ajukan oleh warga lainnya, walaupun terkadang setelah terpilih banyak yang menolak menerima jabatan tersebut, atau jika anda iseng bertanya terhadap anak-anak yang masih duduk di tingkat Taman Kanak-Kanak siapa yang ingin menjadi presiden, dijamin hampir 90% mengacungkan tangannya, akan tetapi jika anda bertanya siapa yang ingin menjadi Ketua RT, dijamin hampir 100% tidak ada yang mengacungkan tangannya. Mungkin ada satu orang anak yang akan mengacungkan tangannya yaitu anak saya kelak jika memang Ketua RT bisa dijadikan sebuah profesi yang menjanjikan

            Krtiteria seorang Ketua RT tidak pernah jelas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahkan tragisnya lagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak terpikirkan untuk membuat Undang-Undang Rukun Tetangga. Minimal ada keseragaman dalam mengatur masa jabatan dan Kriteria seorang RT, standar gajih sampai jenjang karir.
            Kita bahas satu persatu, dari sisi criteria seorang Ketua RT seolah-olah ada aturan tidak tertulis yang mensyaratkan seorang ketua harus sudah berumur di atas 35 tahun. Coba teliti disekitar anda, rata-rata ketua RT sudah tua umurnya. Selain itu seorang Ketua RT rata-rata harus yang tidak aktif lagi bekerja di luar rumah, atau boleh dikatakan seorang pensiunan. Sungguh kasihan sekali jika ada seorang pensiunan yang harusnya menikmati masa-masa istirahat dan menikmati hari tuanya harus “riweuh” ngurusin rakyat di kampungnya.
            Ada satu hal yang sangat aneh, seorang Ketua RT seolah-olah harus satu paket dengan istrinya yang menjadi Ibu RT, yang dalam hal ini tidak jarang terjadi seorang suami menjadi ribut dalam rumah tangganya gara-gara istrinya tidak setuju sang suami menjadi Ketua RT. Logikanya jika hal tersebut terus berlaku maka jangan harap seorang bujangan dan seorang duda bisa menjadi Ketua RT, karena kedua-duanya tidak atau belum mempunyai pendamping sebagai pejabat Ibu RT.

            Perduli atau tidak perduli dengan adanya jabatan ketua RT, hal tersebut sangat berdampak dalam kehidupan bermasyarakat kita, namun tidak pernah ada yang perduli dengan jenjang karir seorang ketua RT. Misalkan setelah jadi ketua RT dia bisa menjadi ketua RW atau Kepala Desa dan seterusnya.

Dalam kaitannya dengan proses pemilihan tidak pernah ditemukan adanya sebuah kampanye besar-besaran dari kandidat Ketua RT, apalagi sampai melibatkan arak-arakan dan pawai kendaraan dalam sebuah pemilihan ketua RT. Tidak pernah ada pula pemasangan poster wajah-wajah kandidat, tidak pernah ada pemasangan baligo yang besarnya sampai menutupi jalan yang mengobral janji-janji jika terpilih nanti. Kejadiannya seorang calon RT didorong-dorong oleh warga lainnya, sementara yang mendorong-dorong untuk maju sebagai calon ketua tidak pernah mau mencalonkan dirinya sendiri

            Sebuah pemilihan atau proses demokrasi yang paling tidak demokratis adalah pemilihan ketua RT, bayangkan yang berhak memilih hanya kaum bapak-bapak saja, atau setidaknya seorang duda/pernah menikah, sementara remaja yang berusia 17 tahun ke atas dan ibu-ibu tidak pernah dilibatkan dalam proses pemilihan ketua RT, padahal mereka berstatus warga juga. Sungguh sangat disayangkan karena harusnya pembelajaran demokrasi bisa ditanamkan mulai dari tingkat yang paling bawah. Hebatnya lagi kaum remaja apalagi mahasiswa dan kaum ibu-ibu tidak pernah protes apalagi sampai demo besar-besaran yang melibatkan spanduk, poster dan massa yang sangat banyak untuk menggugat proses pemilihan tersebut. Mereka menerima dengan lapang dada dan menurut terhadap sebuah keputusan yang telah diambil.

            Tugas dari seorang Ketua RT sangatlah berat, dia harus mengurus kampungnya agar tertib, aman dan nyaman bagi warga. Sepintas tugas tersebut mirip juga dengan seorang sheriff di Amerika. Jika ada yang kemalingan, warga akan dengan gampang menyalahkan system keamanan yang diciptakan oleh ketua RTnya, sementara warga jika diajak siskamling ogah-ogahan. Jika ada pemuda-pemuda yang sering mabuk-mabukan maka Ketua RT pula yang ketiban pulung membereskan itu semua.

            Proses pengurusan KTP salah satu tugas dari Ketua RT, dan anehnya jika biaya menjadi agak mahal terkadang warga protes dan menyebut ketua RT korupsi, atau membuat pengantar apapun yang sifatnya pemerintahan jika ada biaya warga akan bergunjing bahwa Ketua RT materialistis. Sementara warga enggan mengurus sendiri surat-surat penting tersebut, dengan alasan terlalu sibuk, atau terlalu banyak meja yang harus dihadapi.

            Urusan sampah yang sangat menjijikan menjadi salah satu tugas dan tanggung jawab Ketua RT, jika petugas sampah telat datang dan sampah menumpuk maka segenap warga akan kompak menelepon ketua RT, sungguh sebuah tugas yang sangat berat. Selamat berjuang para ketua RT!. Adakah mahasiswa LP3i yang bercita-cita menjadi ketua RT..??

Penulis adalah Staff pengajar di LP3i Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar